Gadis Kecilku

TIBA di rumah, gadis kecilku sudah lelap tertidur. Hanya pengasuhnya memberi laporan, kalau gigi depan bawahnya tanggal tadi sore. Aku tertawa, membayangkan betapa paniknya dia melihat gigi kecilnya tiba-tiba terlepas dari gusinya.
Kubuka pintu kamarnya. Kulihat tubuh bongsornya telentang nyaman dalam balutan piyama warna putih bergambar bunga-bunga kecil kesukaannya. Tidurnya begitu tenang, kulit wajahnya yang kemerahan begitu halus bak pualam. Nafasnya teratur satu per satu. Sesekali kudengar dengkur halus mengusikku untuk segera menghampirinya.
Kuelus wajah cantiknya. Bidadari kecilku menggeliat sekejap, tetapi ia lalu melanjutkan mimpinya. Kubelai rambut halusnya yang kecoklatan. Kulihat tidurnya makin nyenyak. Tak tahan segera kucium pipinya yang ranum. Bau harum segera menyeruak hidungku. Hmmm wangi tubuhnya lebih segar dari parfum manapun bagiku.
Aku segera keluar dari kamar mungilnya, untuk bersiap mandi. Jam dinding menunjuk angka 22 lebih 12 menit. Di luar begitu hening. Hanya sesekali bunyi kendaraan keliling petugas keamanan memecah sunyi. Dinginnya air yang membasahi tubuhku, sejenak melunturkan semua letih setelah seharian berkutat dengan tetek bengek pekerjaan. Aku mempercepat acara mandiku, begitu kudengar suara gadis kecilku yang merengek memanggil namaku.
Ketika kubukan pintu kamarnya, aku melihatnya sudah membuka mata.
”Mami…….” panggilnya lirih begitu melihat wajahku menyembul di pintu kamar.
”Ya sayang,” aku segera mendekati tempat tidurnya yang nyaman.
”Mi, lihat deh,” katanya seraya membuka bibirnya yang mungil. Kulihat ada ‘gua’ kecil disela gigi-gigi putihnya.
”Gigi Chika copot mi. Tadi kan lagi makan coklat, terus gigi Chika copot,” ia memberondongku dengan informasi. Aku melihat wajah lucunya, saat begitu cemas akan giginya. Selama ini ia selalu mencela kawan mainnya yang sudah lebih dulu ompong giginya.
”Cece sih gak mau gosok gigi ya mi ya, jadi giginya ompong deh. Aku gak mau main ah sama Cece, abis giginya ompong sih,” katanya seringkali, bila ia tengah tak sepaham dengan kawan mainnya itu.
Seringkali aku hanya tertawa, lupa menjelaskan padanya, pada saatnya nanti giginya pun akan tanggal satu per satu. Kini ketika mengalaminya ia terlihat begitu cemas.
”Nanti Cece mau main sama Chika gak ya mi, soalnya kan gigi Chika ompong. Padahal kan Chika gosok gigi terus ya mi,” sesalnya.
Aku segera memeluk tubuhnya, kubisikkan kalimat berusaha menghibur hatinya.
”Gak pa-pa sayang sekarang copot, nanti juga tumbuh lagi. Tumbuh lebih kuat, lebih bagus dari yang sekarang. Gigi Chika copot, itu tandanya Chika udah gede. Sekarang bobok lagi ya cantik, mami temani Chika sampai bobok ta,” kataku menenangkannya.
Kubelai rambutnya, sambil mendendangkan Nina Bobo untuknya. Pelan-pelan matanya kembali terpejam. Tak lama, kudengar lagi dengkur halusnya, pertanda mimpi segera tiba.
Mimpi indah cantikku. Semoga segala keindahan akan terus menghiasi hari-harimu, hingga kelak kau harus berlari sendiri tanpa mami disampingmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixty three − 55 =