Hujan Di Bulan Juni

Novel- Hujan Di Bulan Juni

MAUKAH kau mendengar ceritaku, tentang hujan di bulan Juni? Tak berapa lama kulihat dua garis berwarna biru, di belakang barisan huruf yang kukirim padamu. Itu artinya kau sudah membacanya. Kutunggu beberapa saat. Berharap segera keluar tanda bahwa kau sedang mengetik sesuatu di papan ketik mu, membalas chat yang baru saja kukirimkan. Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, kutunggu. Kosong. Tak ada tanda bahwa kau sedang akan membalas nya. Kosong pula hatiku.

Hujan di bulan Juni, memang tidak semestinya terjadi, karena kita sedang memasuki musim kemarau bukan? Lanjutku, menuliskannya untukmu, walau tak ada jua reaksi darimu, seperti yang kuharap. Lantas apa peduliku? Maka kulanjutkan menjentikan jemariku di atas papan ketik telepon selulerku. Sesuatu yang mustahil terjadi. Hujan di bulan Juni? Mana mungkin? Barangkali begitulah kau berpikir, sehingga tak hendak bereaksi apapun tentang keinginanku bercerita tentang hujan di bulan Juni kepadamu. Tapi apa peduliku?

Hujan Bulan Juni, tepatnya. Sebuah judul puisi karya sastrawan Sapardi Djoko Damono. Aku mengenal Namanya selintasan. Tak pernah membaca karya-karyanya. Karena memang bukan di lingkungan itu lah aku bertumbuh, meski pada masanya, aku kerap mencoretkan kata-kata tak jelas, dan teman-teman menyebutnya sebagai sebuah puisi. Kata-kata tak jelas dari isi dan gelisah yang tak jelas sebenarnya. Tapi mereka terlanjur menjuluki aku sebagai mahasiswi farmasi tukang puisi. Apa peduliku? Gak ada. Sebab pendapat orang tentang aku bukan hal yang penting untuk menjadi bagian dari pemikiranku untuk melakukan sesuatu. Aku hanya inginkan pendapatmu tentang itu. Hanya itu yang penting. Bagiku. Saat itu.

Waktu terus berlalu. Kau pun akhirnya berlalu dari hidupku. Ingatanku tentang kamu tertutup oleh rutinitas . Sampai akhirnya kutemukan pahlawanku dan mengikatkan jiwaku pada jiwanya. Sejak itu kulupakan rangkaian kata-kata tak jelas, sebab gelisahku pun sirna tanpa bekas sudah.

Sampai suatu hari, aku merasa harus keluar dari rutinitas dan mencari sedikit hiburan bagi jiwaku.

‘’Nonton yuk pa’’.

‘’Emang ada film bagus?’’ lelaki dengan kacamata minus itu bertanya.

‘’Sebentar aku lihat di google’’. Maka kuketik di papan ketik telepon selulerku, mencari adakah film bagus yang sedang diputar di bioskop saat itu. Beberapa judul film keluar, tapi rasanya tak ada yang merangsangku untuk memilih salah satu judul film itu.

‘’Mau gak nonton film Indonesia? Siapa tau ada yang bagus,’’ aku mencoba membujuk pria berdada bidang yang duduk di sebelahku. Kusandarkan kepalaku di bahunya yang kukuh. Sementara mataku masih melekat pada layar telepon seluler, terus mengembara mencari -cari judul film yang agak unik.

‘’Ini ada Hujan Bulan Juni, kayaknya bagus’’. Akhirnya kutemukan juga, sesuatu yang menarik menilik judulnya. Hujan Bulan Juni, sebab tak mungkin.

‘’Darimana tahu itu film bagus?’’ sergah lelaki yang memiliki binar-binar di matanya, setiap kali menatapku itu.

‘’Dari judulnya. Gak biasa. Mana ada Hujan Bulan Juni, jadi bikin penasaran, cerita tentang apa.’’ sekali lagi aku mencoba membujuknya. Kali ini kuletakan telepon seluler di pangkuanku, Tanganku mulai mengelus pipinya, kupandangi wajah yang telah berpuluh warsa menemaniku. Kucium aroma khas tubuhnya. Wangi yang sama, yang membuat ku dulu jatuh cinta padanya.

Pria yang selalu mampu membuatku merasa tenang, meski saat badai tengah menghantam jiwaku ini, lalu beringsut dari duduknya semula. Kali ini menghadapku setelah melipat kaki kirinya di atas sofa dan bertanya dengan suara rendah dan lembut seperti biasa, bila ia tengah ingin memanjakanku.

‘’Mama mau nonton?’’ ia sentuh lembut pipiku, ditatapnya mataku lekat. Masih cinta yang sama.

‘’Mau,’’ jawabku manja.

‘’Ya udah ayo siap-siap, mumpung masih sore’’.

Aku segera beranjak, dan dia kembali pada bukunya. Aku tahu, dia tahu bahwa aku butuh waktu cukup lama untuk bersiap, sementara dia hanya butuh dua menit untuk berganti baju. Maka, masih cukup waktu baginya untuk meneruskan bukunya, sembari menunggu aku memoleskan segala sesuatu ke wajahku, memilih baju yang paling pantas untuk malam itu.

Putri sematawayangku  sedang menginap di rumah temannya, sehingga kami bisa berduaan malam itu. Aku lanjutkan ceritaku, menuliskannya sekali lagi di papan ketik, menyentuh symbol kirim, dan untuk yang kesekian kalinya, dua garis biru muncul, walau tetap tak ada reaksi darimu. Aku memang tak pernah berpikir, apa kiranya yang berkecamuk di hatimu, saat membaca semua ceritaku. Tapi apakah aku peduli? Sebab aku hanya ingin menumpahkan rindu.

Sesampai di Gedung bioskop, yang hanya 10 menit jaraknya dari rumah, aku baru tahu bahwa pemerannya adalah Velove Vexia dan Adipati Dolken. Bukan bintang favoritku, dan aku sama sekali tak mengenal kualitas acting mereka. Tapi karena kali ini aku hanya ingin menonton, tanpa harus sibuk menjadi seorang pengamat film, maka kubuang jauh-jauh saja keraguanku. Kubuang jauh-jauh ekspektasi akan sebuah film berkualitas dengan totalitas acting para pemainnya, seperti yang kuharapkan. Maka kunikmati saja malam itu. Kunikmati saja kebersamaanku dengan pria yang 13 cm lebih tinggi dariku ini.

‘’Mama tunggu disini, aku beli tiketnya dulu,’’ sigap dia segera mengambil antrian, begitu kami memasuki Gedung bioskop yang ada di tengah mall ini. Kupandangi dia dari jauh. Tubuhnya jauh lebih berisi sekarang, dibanding saat aku mengenalnya pertamakali 36 tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA, baru 17 tahun dan dia mahasiswa baru di perguruan tinggi di kota kelahiranku. Atau 25 tahun lalu, saat kami kembali bertemu, jatuh cinta dan kemudian berjanji untuk menghabiskan sisa hidup kami bersama, selamanya. Saat itu, tentu saja aku tak lagi mengingatmu. Kau sudah jauh dari jangkauan khayalku.

Aku ingat, bagaimana ia berusaha agar bisa menjadi lebih berisi dengan berolahraga secara teratur. Mengkonsumsi hanya makanan bergizi, menjaga kualitas tidurnya hingga cukup dan yang terpenting selalu ada disampingku. Menyunggingkan senyum termanisnya.

‘’Aku ingin menjadi suami terbaik untukmu, menjadi suami yang bisa kau banggakan, dalam segala hal,’’ bisiknya, ketika aku bertanya, mengapa ia melakukan itu semua. Usaha kerasnya membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, tubuhnya yang semula kurus, ceking, mulai berisi. Pipinya yang semula cekung mulai mengembung. Dan…..hai dia jadi terlihat makin ganteng dari hari ke hari. Wajahnya makin memikat. Dan, sinar matanya itu, sinar mata yang dulu begitu muram, kini dari hari ke hari makin bersinar cemerlang.

Entah mengapa, setiap kali aku memandangnya dari kejauhan seperti ini, ada bintang yang menari-nari di hatiku. Betapa beruntungnya aku memiliki kamu pa. Mensyukuri setiap perjalanan yang kita tempuh, detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun.

Duduk diam memandang layar besar di depan kami, tiba-tiba ia menggenggam tanganku erat.

‘’I love you ma,’’ bisiknya lembut, sesungging senyum di bibirnya.

‘’Terimakasih sudah mau menemani mama nonton malam ini,’’ balasku. Aku tahu, ini bukan jenis film yang bisa dia nikmati. Tapi lelaki ini tak pernah menolak permintaanku, meski aku tahu dia harus menahan kantuk selama di Gedung bioskop, demi menemaniku. Aku tersenyum membayangkan betapa membosankannya ini semua buat dia, tapi tetap dia lakukan dengan senang hati. Demi menyenangkan hatiku.

Apakah kamu masih disitu? Masih membaca ceritaku? Atau membukanya dan melewatkannya tanpa mencermati isinya? Lalu tertidur. Apakah aku masih tidak peduli? Kali ini aku mulai ragu. Mulai khawatir, reaksimu yang hanya membaca lalu diam membuatku bertanya-tanya, apakah kau ada untuk aku? Aku ada di hatimu? Atau aku memang mulai membuatmu bosan dan kau ingin segera jauh-jauh dariku.  Maka kututup aplikasi whatsapp, dan meletakan telepon seluler di tepi ranjangku. Mencoba memejamkan mata. Mengharapkanmu mendengarkan ceritaku, mungkin seperti mengharap hujan di bulan Juni.

Meski tak lagi berkirim pesan padamu, tak lagi bercerita untukmu, tapi ingatanku mengenai malam itu, tak lagi bisa kuhentikan. Sebab ternyata aku terpesona pada sosok Pingkan yang diperankan Velove Vexia dan Sarwono yang diperankan Adipati Dolken. Mereka sepasang kekasih yang dihadapkan pada cinta yang rumit. Bukan kisah cintanya yang membuat haru biru, tetapi dialog-dialognya yang dinukil dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono tadi. Kalimat-kalimat indah yang disampaikan dengan cara yang sangat pas dan mengena menurutku, membuatku jatuh cinta pada film ini secara keseluruhan.

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu.

Kuliirk pria penggemar film action yang duduk disampingku, kulihat kepalanya disandarkannya ke belakang, matanya tertutup, bibirnya sedikit terbuka.

Kucondongkan tubuhku mendekatinya. Kuelus pelan pipinya. Dia tergeragap bangun. Aku tersenyum.

‘Ngantuk ya?’’ kataku tanpa menunggu jawaban sebenarnya.

‘’Belum selesai ya? Ketiduran sebentar tadi,’’ ia coba mengelak dari rasa bersalah karena telah meninggalkanku tertidur di kursinya.

‘’Filmnya bagus lho pa ternyata,’’ bujuk ku.

‘’Kok dialog nya begitu sih, aku gak paham maksudnya apa,’’ katanya mencari alas an untuk rasa kantuk yang tak bisa ditahannya sebentar tadi.

‘’Nanti deh aku jelasin, sekarang terusin nonton dulu ya,’’ rayuku, berbisik tentu saja, kukecup pipinya lembut, mencoba mencari cara agar kantuk tak lagi datang menghampirinya.

‘’Iya, iya,’’ ia lalu menegakkan punggungnya, mencari posisi duduk ternyaman, agar tak kembali tertidur.

Keluar dari Gedung bioskop, kami tak segera pulang.

‘’Ngopi dulu yuk ma,’’ ajaknya, sambil menuju restoran J.Co yang masih buka hingga tengah malam, meski mall telah tutup lebih dulu.

‘’Jadi itu tadi tokoh lelakinya akhirnya meninggal ya?’’ tanya nya membuka percakapan, begitu kami duduk berhadapan, sembari menunggu pesanan kopi kami selesai dibuat.

‘’Sarwono memang meninggal, tapi dia tetap hidup di hati Pingkan,’’ kataku. Di akhir cerita, Pingkan menerbitkan kumpulan puisi tulisan Sarwono yang merupakan ungkapan rasa cintanya kepada Pingkan selama ini. Pingkan mengabadikan Sarwono di hatinya melalui tulisannya yang dibukukan itu.

‘’Oh gitu. Apa bagusnya film itu?’’ tanyanya menggugat, setelah sebelumnya mengambil pesanan kami.

Kuseruput coklat panas yang kupesan, dan kemudian menggigit donat yang berwarna kuning kecoklatan dengan taburan gula halusnya. Sementara dia menikmati kopi panasnya.

‘’Akting pemainnya bagus, Surya Saputra ngeselin banget disitu. Pun kedua tokoh utamanya.  Gambarnya indah, apalagi dialognya. Menurutku itu film paling puitis yang pernah kutonton,’’ sergahku.

Malam itu kami pulang dengan perasaan yang berbeda. Lelaki yang mencintaiku sepenuh hatinya itu masih bingung, mengapa aku sangat menyukai film itu, sementara aku pulang dengan rasa puas yang luar biasa. Ah dialog nya mampu menyirami jiwaku yang sedang rindu pada puisi.

‘’Film itu bagus ma menurutmu?’’ ia masih belum yakin, hingga kami merebahkan tubuh berdampingan di pembaringan.

‘’Aku suka. Velove mampu menampilkan sosok Pingkan, gadis keturunan Manado-Jawa yang riang, ringan namun juga pintar. Penampilannya mungkin Manado, tetapi ternyata hatinya Jawa. Buktinya ia jatuh cinta pada Sarwono, lelaki Jawa yang sederhana. Sarwono yang gelisah saat tahu kekasihnya akan menempuh Pendidikan di Jepang mengungkapkan kegelisahannya dalam tulisan-tulisan pendek, puisi yang kemudian dinarasikan dengan latar depan berupa gambar-gambar indah Pingkan dan Sarwono yang sedang Bersama. Gambarnya juga bagus, menampilkan lokasi-lokasi yang menurutku cukup eksotis di Manado. Film yang bagus,’’ kataku Panjang lebar.

Dia bukan pria yang sulit menerima pendapatku. Maka ia tak butuh waktu lama untuk mempercayai bahwa itu film yang bagus. Kepercayaan yang harus kujaga dengan mengisi kepalaku dengan data dan fakta.

Sutradaranya juga sangat detil, kujelaskan bagaimana peran sutradara ketika mengarahkan agar Surya Saputra yang memerankan Tumbelaka bisa tampil begitu genit dan mengesalkan. Gerak bibirnya, lirikan genitnya, atau bahkan gesturenya saat mupeng memandang wajah cantik Pingkan.

                                                                        ***

‘’Mama mau beli buku apa? Aku mau cari novel disana ya ma,’’ putriku menunjuk deratan rak di ujung agak ke utara.

‘’Mama disini aja ya, cari-cari buku yang disini,’’ ujarku.

‘’Nanti kalau sudah selesai balik kesini lagi ya,’’ sambungku.

Aku mulai mengedarkan pandanganku pada tumpukan buku yang ada dimeja di depanku, tanpa rasa tertarik seperti biasanya.  Hari-hari ini aku merasa tak ada sesuatupun yang menarik untuk dinikmati. Maka aku berdiri tanpa minat, walau mataku masih menyusuri buku-buku yang ada disana. Sesekali aku mendesah. Mencoba meringankan sesak di dada.

Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sederetan huruf yang begitu ku kenal. Diatas cover buku berwarna peach, dan ilustrasi gambar buliran air yang membuatnya terlihat begitu segar. Hujan Bulan Juni. Ah, buku ini masih ada. Segera kuambil salah satu yang sudah tidak lagi terbungkus plastik. Membuka lembar demi lembar dan kutemukan yang kucari. Puisi itu, dialog itu yang menembus jantungku dan tak pernah bisa kulupakan. Tiba-tiba tenggorokanku tercekat, aku mulai merasakan basah di mataku, pandanganku sedikit kabur oleh genangannya.

‘’Mama sudah dapat bukunya?’’ tiba-tiba putriku menyentuh pundak ku dan melihatku memegang sebuah buku. Sementara di tangannya ada beberapa buku.

‘’Sudah, yuk ke kasir,’’ sergahku cepat, tak ingin ia melihatku menangis.

Sembari rebahan, kubaca puisi demi puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan pertamakali tahun 1994 itu. Air mataku menetes tak mampu kutahan. Bukan hanya haru oleh keindahannya, tetapi oleh sebuah kenangan. Kenangan malam itu, terakhir aku menikmati film Bersama pria yang melamarku berpuluh tahun lalu. Ada yang menusuk jantungku, mengulirkannya hingga darah tak berhenti menetes. Lukanya kian hari kian terbuka dan aku tak mampu menghentikan tangisku, mengenangnya.

Pastinya dia telah tenang disana, bersama Nya. Akhirnya menemukan topi yang nyaman dia kenakan, yang selama hidup tak pernah dia temukan, karena ukuran kepalanya yang memang di atas rata-rata. Meninggalkanku sendiri dengan begitu tergesa, bukankah seharusnya kita masih bersama?

Tujuhbelas purnama tanpa pria yang memintaku menyanyi sementara dia akan memainkan jemarinya di atas toots piano, bukan hal yang mudah.  Kucoba jelajahi duniaku sendirian kini, mencoba menegakkan kepala berjalan menyusuri hari demi hari. Walau sendiri kini, tapi kehangatan cintanya tak pernah lekang dari hatiku. Hadirnya ada selalu dihatiku. Tapi tak lagi bisa kusandarkan kepalaku di bahunya, tak lagi kudengar suara rendahnya yang menenangkan, tak lagi kulihat tatap matanya yang penuh cinta atau pijatan lembut tangannya di telapak kakiku. Tak lagi bisa kuminta sebuah pelukan  setiap kali kurasa risau mampir di hatiku. Aku hanya bisa merindunya. Rindu yang mencabik-cabik hatiku, jiwaku, hidupku.

Sampai di sebuah persimpangan, di sebuah senja yang temaram, kutemukan kau tengah bersendiri menikmati kopimu. Di sebuah café di ujung jalan di kota itu.

‘’Bukankah itu kamu?’’  teriakku terkejut mendapatkanmu disini, di kota lama, dimana kita pertamakali berjumpa, berbilang tahun lalu. Bukankah kau sudah lama kembali ke pulaumu, nun jauh disana?

‘’Iya, ini aku. Kamu…?’’ balasmu tak kalah terkejut.

‘’Ya. Its me. Only me,’’ jawabku memaksakan sebuah senyum.

‘’Berhentilah sejenak, duduklah disini, kita berbincang tentang sore yang tengah menjelang,’’ pintamu tak bisa kutolak.

‘’Apa kabarmu?’’ tanyamu penuh seilidik. Hal yang sama kuingin tahu tentangmu. Ingin kuucap kata ‘baik’, tapi sungguh tak sanggup kulakukan.

‘’Aku ikut berduka  atas kepergian suamimu,’’ ungkapnya lirih.

‘’Pun aku, maaf tak bisa mengantar saat kepergian istrimu,’’ balasku tak kalah pedih.

Tiba-tiba berdua larut dalam diam yang panjang.

‘’Minumlah kopimu, sudah hampir dingin,’’ lalu sejumlah cerita mengalir dari bibirmu.

Ah kamu masih penuh pesona. Tetiba ingatanku kembali ke masa itu. Saat kita berbincang di selasar kampus, di bangku taman atau di perpustakaan, saat sore telah mulai sepi. Suaramu. Pipimu sedikit berisi kini. Tapi sinar matamu, mengapa masih seperti dulu.  Tetap tak mampu kupahami maknanya. Ada desir kecil tiba-tiba menyisip. Aku terkejut, ternyata kau tak sama sekali hilang dari hatiku.

Hari itu entah kenapa kutemukan kembali senyumku yang hilang sejak belasan bulan lalu, sejak kepergiannya.

Senyum mu, suara mu, dan segala pernak pernik hidup yang kau kisahkan hari itu kubawa pulang kembali ke kotaku. Tak lagi mampu kulepaskan sejak itu.

                                                            ***

Sudah dua Juni menghampiri. Hari ketiga sekarang. Dan seperti yang sudah sudah, tak akan pernah ada hujan yang jatuh di bulan Juni. Hanya air mataku yang tumpah. Merindu. Hanya saja kali ini aku tak tahu lagi, kepada siapa rindu ini kucurahkan. Kepadanya yang telah bersamaku ratusan purnama terakhir dan kini hanya meninggalkan pusara, ataukah kepadamu yang berada ratusan kilometer dariku. Aku kembali menangis. Menangisi diriku, menangisi hatiku, yang tak kunjung mampu kuajak berdamai.

Tiba-tiba kudengar suara aneh di luar jendela kamarku. Sesuatu jatuh menyentuh tanah dan meninggalkan basah. Hujan? Hujan?! Di bulan Juni? Makin lama makin deras. Tiba-tiba angin sejuk menembus kisi-kisi jendela yang kututup rapat sejak senja tiba tadi. Hujan di bulan Juni ternyata turun juga. Maka kubiarkan telingaku menikmati iramanya. Pori poriku merasakan sejuknya udara yang tertimpa hujan.

Aku nyaris memejamkan mata, tak lagi mampu menahan kantuk, ketika sekilas kulihat pendar telepon selulerku, menandakan sebuah pesan masuk.  Siapa malam-malam begini mengirimku pesan? Sedikit enggan kuraih benda berbentuk empat persegi panjang tipis berwarna perak yang berisi begitu banyak keajaiban.

‘’Sudah tidur ya? Kotaku tiba-tiba diguyur hujan. Entah kenapa rintiknya tiba-tiba mengingatkan aku kepadamu,’’ sebuah pesan yang kutunggu sedari tadi akhirnya kuterima. Ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Senyumku tak bisa kucegah mengembang. Tanpa kujawab, dia pastilah tahu aku belum tidur, sebab dia tentu melihat dua haris biru di akhir pesannya untuk ku.

‘’Tidurlah, malam sudah hampir meninggalkan hari. Esok kita berbincang lagi, tentang pagi, tentang mentari. Berhentilah mengenang hari kemarin, sebab hanya mimpi. Jangan pernah khawatirkan esok, penuhilah dengan harapan’’.

Hujan akhirnya turun di bulan Juni.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− three = 3