Mampukah Rapid Tes Menegakkan Diagnosa?

PRESIDEN Joko Widodo beberapa waktu lalu memerintahkan untuk mengimpor rapid tes guna mencegah makin menjalarnya wabah Covid-19 di Indonesia. Sayangnya, ternyata rapid tes yang kemudian telah dipergunakan di sejumlah wilayah ini tidak mampu menjawab persoalan yang kini tengah membelit ratusan negara di dunia ini, termasuk Indonesia. Rapid tes disebut tidak mampu menegakan diagnose, apakah seseorang telah terinfeksi SARS CoV- 2 atau tidak. Bersama Drs Julian Afferino Taruna Vijaya, MS, Apt kali ini kita akan berbincang mengenai rapid tes tersebut.

Tn : bukan hanya Indonesia, bahkan negara se adidaya Amerika Serikat pun, kalang kabut menghadapi wabah pandemic Covid-19 ini. Mengapa?

Julian Afferina (JAT) : Covid-19 ini memang satu virus jenis baru yang belum pernah ada sebelumnya, jadi memang tidak ada pemerintah di satu negara pun yang betul-betul siap menghadapinya. Karena virus ini betul-betul baru, sehingga tubuh pun membutuhkan waktu 5-7 hari hingga mampu mengenali virus ini dan kemudian membentuk antibody.

Tn  : bagaimana sebenarnya proses pembentukan antibodi ini didalam tubuh?

JAT : berdasarkan teori imunologi, setelah melalui waktu pengenalan selama 5-7 hari, barulah tubuh mengeluarkan respon imunologi dengan memproduksi immunoglobulin M (IgM). IgM adalah antibodi yang diproduksi oleh tubuh saat pertamakali terinfeksi bakteri atau kuman lain. IgM merupakan garis pertahanan pertama tubuh untuk melawan infeksi. Tingkat IgM akan meningkat dalam waktu singkat saat terjadi infeksi, kemudian perlahan menurun dan digantikan oleh IgG.

Imunoglobulin G mulai muncul di hari ke 7 dan mencapai puncaknya di hari ke 14. IgG inilah yang menyerang virus Covid-19 yang menginfeksi tubuh. Pada periode  ketiga, yaitu di hari ke 14-21 jumlah IgG akan terus menurun dan keberadaan IgG akan menghilang di hari ke 21, saat itulah pasien dinyatakan sembuh.

Tn : apakah rapid tes bisa mendeteksi keberadaan virus di dalam tubuh begitu ia terinfeksi?

JAT : sayangnya  baru di hari ke 5-7 lah virus ini bisa terdekteksi dengan rapid tes. Itu pun baru mendeteksi IgM nya. Setelah IgM nya turun menuju hari ke 7-14 baru terdekteksi IgM dan IgG. IgM yang dikeluarkan sangat spesifik hanya untuk satu jenis penyusup.

Jadi, dari munculnya IgM atau IgG ini lah bisa diketahui apakah seseorang sudah terinfeksi pada tahap awal atau sudah berada di tahap lanjut. Apabila hanya IgM terdeteksi berarti infeksi terjadi masih di fase awal, tapi apabila IgM dan IgG keduanya ditemukan, artinya telah mulai memasuki fase lanjut. Apabila hanya IgG yang ditemukan berarti infeksi sudah berada di fase lanjut.

Tn : setelah Spanyol, menyusul Belanda yang mengembalikan pesanan rapid tes mereka karena dinilai tidak cukup akurat. Sebenarnya apa yang terjadi?

JAT : memang yang  menjadi masalah kemudian adalah mengenai sensitifitas rapid tes tersebut. Hanya dengan rapid tes, sebenarnya tidak bisa juga diketahui apakah seseorang telah terinfeksi oleh SARS-CoV-2 atau tidak. Terlebih alat rapid tes bisa saja menunjukan satu penyimpangan, seperti positif palsu dan negative palsu. Terjadinya positif palsu ataupun negative palsu ini, selain dikarenakan sensitifitas rapid tes, juga karena respon imunologi tubuh yang masih kebingungan mengenali benda asing yang masuk.

Ingat, karena virus ini memang virus yang baru sama sekali, sehingga tubuh sama sekali belum memiliki memori mengenai virus ini.

Tn  : jadi keputusan menggunakan rapid tes bukan keputusan yang tepat?

JAT : rapid tes sebenarnya hanya bisa digunakan untuk skrining penyakit yang tidak bersifat akut. Artinya, karena tidak bersifat akut, sehingga masih banyak waktu untuk melakukan tindakan medis. Rapid tes tidak bermanfaat bila digunakan untuk mendeteksi penyakit akut yang sangat membutuhkan penanganan yang cepat untuk keselamatan dirinya dan orang lain, karena harus berpacu dengan waktu, sehingga tidak bisa melakukan tindakan medis lain. SARS-CoV-2 adalah virus yang menyebabkan penyakit yang bersifat akut, waktu untuk melakukan tindakan medis sangat singkat.

Untuk penyakit yang sifatnya akut dan sangat akut, untuk menyelamatkan nyawa seseorang harus menggunakan pemeriksaan gold standar. Dalam situasi seperti sekarang, saat Covid-19 mewabah di seluruh dunia, apabila ditemukan orang dengan gejala influenza like illnes atau ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas) harus langsung diambil dan diperiksa dengan pemeriksaan gold standar, yaitu dengan menggunakan real time PCR (Polymerase Chain Reaction). Karena dengan PCR itu hampir tidak ada celah bagi virus untuk lolos dari pemeriksaan. Dengan real time PCR, meski virus yang menginfeksi jumlahnya masih sedikit, namun dapat dilipatgandakan sehingga mudah terdeteksi.

Jadi kalau dalam keadaan wabah akut pandemic seperti sekarang ini ini, yang harus kita lakukan adalah periksa dan pastikan. Tidak bisa dengan metode trial and error seperti bila menggunakan rapid tes. Periksa, pastikan kemudian karantina.

Hanya saja, yang menjadi masalah adalah selain kendala biaya, tidak semua rumah sakit  memiliki peralatan itu. Ini terkait dengan sistim kesehatan kita saat ini yang menggunakan BPJS. Dengan BPJS memang tidak feasible bila harus mengadakan peralatan ini.

Contohnya, untuk pemeriksaan HIV secara kuantitatif, salah satu RS terbesar di Jakarta yang menerima rujukan dari seluruh Indonesia membutuhkan waktu 1 bulan untuk menyelesaikannya. Ini karena pihak rumah sakit harus menunggu hingga ada 10 sampel yang diperiksa, agar biayanya menjadi lebih terjangkau.

Selain pemeriksaan dengan PCR yang dilakukan melalui swab tes tenggorokan, juga dilakukan foto rontgen. Tindakan ini diperlukan, selain  untuk pemantauan terapi juga untuk mendukung diagnosis. Hal itu dikarenakan pneumonia yang disebabkan oleh Covid-19 ini sangat khas, yaitu adanya penampakan seperti kabut yang terjadi di sekitar vena pulmonalis dekat jantung. Berbeda dengan  pnemumonia yang disebabkan oleh kuman lain, penampakan seperti kabut itu menyebar dan tidak terlokalisir di dekat vena pulmonalis.

Jadi penggunaan rapid tes menurut hemat saya menandakan bahwa kita tidak siap dan tidak cukup memiliki peralatan untuk PCR. kalau soal tenaga ahli, sebenarnya kita memiliki cukup banyak. Tetapi mungkin ada masalah politis yang membuat para tenaga ahli tidak berkutik. Malaysia yang mortality ratenya sangat rendah juga tidak menggunakan rapid tes. Rapid tes sama sekali tidak direkomendasikan oleh para ahli disana.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *