Panic Attack

JAM di dinding sudah menunjukkan pukul 17.05 WIB, saat aku mulai membereskan meja kerjaku. Melipat laptop yang sepanjang hari ini menemaniku menyelesaikan tugas-tugas harian. Baru saja abang tukang ojek membawa lima looks wardrobe yang akan dikenakan  anchor di sebuah stasiun televisi berita. Salah satu tugasku adalah menyiapkan wardrobe mana saja yang akan dikirimkan kali ini, tentu saja disertai surat jalan yang dilengkapi dengan foto-foto.

Perusahaan tempatku bekerja menjalin kerjasama dengan beberapa stasiun televisi yang membutuhkan  wardrobe bagi anchornya yang berbusana muslimah. Setidaknya sudah ada tiga stasiun televisi yang rutin menggunakan busana Nina Nugroho, saat tampil  membawakan berita. CNN, TV One dan yang terbaru Metro TV. Salah satu tugasku adalah melayani kebutuhan mereka, kemudian mengunggah foto-foto saat mereka mengenakan busana itu ke website dan akun media sosial kami.

‘’Ini isinya kain ya bu,’’ tanya abang ojek saat menerima sebuah tas plastik besar berwarna putih dari tanganku.

‘’Bukan bang, ini baju. Hati-hati membawanya, jangan sampai kena hujan ya bang. Soalnya sudah mendung ni,’’ pesanku, sedikit khawatir. Langit memang mulai gelap, gerimis mulai turun satu-satu..

‘’Iya bu,’’ jawab si abang, sembari memotret bungkusan yang akan dibawanya. Prosedur standar.

Aku kembali ke meja, kulihat teman-teman se meja ku juga sudah mulai membereskan laptop masing-masing. Aku segera memasukan laptop dan buku catatan ke loker yang ada di mushola, di sebalah luar ruang kerja kami, menguncinya,  mengenakan jaket dan memasang kembali masker menutupi mulut dan hidungku. Kembali ke meja, kulihat Novi sudah menunggu.

‘’Ibu sudah selesai?’’ tanya Novi yang setia mengantarku setiap harinya hingga ke jalan depan komplleks, dimana kantorku berada, sebelum ia melanjutkan perjalanan menuju rumahnya di Cileungsi.

‘’Sudah. Yuk. Sudah absen Nov?’’ tanyaku sambil menuju mesin absen tak jauh dari meja kerja kami. Meletakkan jari telunjuk di jendela dan menunggu kata oke terdengar dari mesin absensi itu.

‘’Sudah bu,’’ jawabnya, sembari mengambil tas.

‘’Yuk, kita pulang dulu ya. Assalamualaikum,’’ kataku sambil menuju ke pintu keluar.

‘’Waalaikumsalam.  Hati hati di jalan bu Tres, Nov,’’ Muthi, Molly dan Tika menjawab serempak.

‘’Ibu mau naik busway atau 44?’’ tanya Novi saat kami sudah berboncengan sepeda motor menuju jalan raya.

‘’Naik busway aja Nov,’’ itu artinya aku akan turun di pintu depan kompleks dan bukan turun di pasar Kranggan. Sebenarnya jalan kaki keluar kompleks juga tidak sampai 10 menit, tetapi di saat pulang kantor dan tubuh sudah mulai lelah, mendapatkan teman seperjalanan sehingga aku tak perlu jalan kaki tentu saja sangat menyenangkan.

Aku segera bersiap menyeberang jalan,begitu turun dari sepeda motor Novi. Sejak virus SAR-Cov2 yang menyebabkan Covid-19 (Corona Viruses Desease-2019) diumumkan secara terbuka, dan pemerintah DKI mulai melakukan pembatasan, jalanan memang mulai lengang.

Seharian tadi, sembari menyelesaikan tugas masing-masing, topik bahasan utama adalah mengenai Covid-19. Berapa orang yang hari ini terinfeksi, berapa yang meninggal dan berapa yang sembuh.Seperti apa sebenarnya karakter virus yang pertamakali ditemukan di Wuhan,Tiongkok ini? Apakah dia menempel atau melayang? Berapa lama ia mampu bertahan di udara terbuka di luar inangnya? Bagaimana ia menularkan? Seperti apa gejala mereka yang telah terinfeksi? Informasi yang masih simpang siur, membuat sebagian orang tidak peduli, tetapi sebagian yang lain menjadi khawatir berlebihan. Aku, mungkin termasuk yang menjadi khawatir berlebihan.

Bagaimana tidak. Untuk sampai ke kantor, aku membutuhkan waktu setidaknya dua jam dengan berganti- ganti moda transportasi. Itu artinya, kemungkinan tertular virus ini sepanjang perjalanan yang harus kutempuh sehari hari tentulah sangat besar. Setelah menyeberang,  aku menunggu mobil angkutan kecil berwarna biru bernomor 121 menuju halte busway di Cibubur Junction. Di halte ini memang hanya ada satu jurusan,Cibubur-BKN. Beruntung sore itu kondisi penumpang cukup lengang. Tak perlu mengantri panjang, dan masih banyak tempat duduk yang kosong. Setelah menyemprotkan handsanitizer ke tangan, disediakan di dalam bus, aku segera mencari tempat duduk yang sedikit berjauhan dari penumpang lain.

Aku kemudian mengambil selembar tisu basah, mengeluarkan handphone dari kantong tas dan mengelapnya dengan tisu, sebelum kemudian memencet layar dan mulai membaca obrolan teman teman melalui grup whatsapp, atau memeriksa timeline di akun facebook ku. Semua obrolan masih seputar virus ini. Gemas melihat langkah pemerintah pusat yang begitu lambat, cemas melihat commuterline yang masih penuh sesak, membayangkan betapa mudahnya mereka tertular virus ini dalam perjalanan itu.

Turun di halte BKN, aku segera menuju ke pintu arah Kampung Melayu dan menunggu busway disana. Suasana sore itu memang tidak seperti biasanya. Cukup lengang. Petugas berkali-kali mengingatkan agar para penumpang saling menjaga jarak dan tidak bersentuhan satu dengan yang lain. Tak lama bus yang kutunggu datang. Masih lengang. Aku mendapat tempat duduk dengan kursi sebelah yang kosong. Hanya dua halte, dan aku turun di halte BNN. Menyeberang melalui jembatan penyeberangan untuk menuju halte ke arah Bekasi.

Sampai di seberang, aku mempercepat langkah untuk segera menuju selasar, tempat para penumpang menunggu bus masing-masing. Halte BNN ini cukup sempit,sementara jumlah penumpang, baik yang menuju Bekasi atau ke arah Pinang Ranti selalu menumpuk di kedua sisi. Saat menuruni tangga, tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Mulutku terasa kering. Kulihat tumpukan penumpang baik ke arah Pinang Ranti  maupun Bekasi begitu penuh. Sebenarnya ini pemandangan biasa yang sehari-hari aku temui selama ini. Tapi entah mengapa, kali ini aku menjadi begitu ketakutan.

Aku tiba-tiba merasakan, mereka tengah menanti untuk menyerangku. Mereka mengintai, menunggu ku lengah. Gaya mereka memang seperti seolah tak peduli padaku, tetapi sesungguhnya mereka telah mengatur sebuah strategi bagaimana mereka akan melumpuhkan aku. Mengatur strategi bagaimana mereka akan merontokan pertahananku, mengoyak tubuhku dengan virus ini . Aku berhenti. Ketakutan yang amat sangat tiba-tiba membuatku perutku terasa kaku. Aku pun mundur selangkah. Bersiaga, kalau saja tiba-tiba mereka akan segera mewujudkan strategi yang telah mereka siapkan untuk melumpuhkanku.

Dari atas anak tangga, aku melihat para calon penumpang yang bergerombol di kedua sisi. Gerombolan yang begitu padat. Aku masih berdiam. Beberapa detik menyapukan pandangan ke arah gerombolan itu. Tiba-tiba aku begitu khawatir. Bagaimana kalau diantara mereka sebenarnya sudah ada yang terjangkit virus corona ini? Bagaimana kalau ternyata bukan hanya satu, tetapi lima, atau mungkin sepuluh, siapa tahu  malah dua puluh orang diantara mereka sebenarnya sudah memiliki virus itu di tubuhnya tanpa mereka sadari.

Tiba-tiba aku merasakan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Jantungku berdegub begitu kencang. Aku mulai merasakan kakiku melemah dan tanganku gemetar tak mampu kutahan. Aku nyaris terjatuh, ketika seseorang menyenggol tubuhku saat berlari menuruni tangga. Refleks aku segera berpegangan pada pagar besi disampingku. Tiba-tiba aku teringat, bahwa virus ini menempel pada besi hingga beberapa hari lamanya dan masih bisa menginfeksi seseorang yang tanpa sengaja menyentuhnya.

Aku segera melepaskan genggamanku pada besi pagar itu dan berusaha berdiri tegak agar tak perlu bersentuhan dengan nya. Ketakutan lain tiba-tiba melandaku. Bagaimana kalau ternyata ada virus yang menempel di pagar yang tadi ku pegang, dan virus itu sekarang sudah berpindah ke tanganku, tangan kananku ini?

Sementara kakiku yang makin terasa lemah berusaha sekuat tenaga untuk tetap menopang tubuhku, tangan kiriku yang makin gemetar berusaha merogoh ke kantong-kantong tas, mencari hand sanitizer yang belakangan menjadi teman setia perjalananku. Tak kutemukan di kantong kiri, aku semakin panik, aku beralih mencarinya di kantong sebelah kanan. Merogohnya lebih dalam. Ah itu dia. Segera kusemprotkan hand sanitizer ke tangan kananku beberapa kali, memasukan kembali botol ke kantong tas dan meratakan ke kedua tanganku. Sensasi dingin yang menjalari tanganku dari cairan campuran alkohol dan gliserin ini sedikit meredakan gelisahku. Tapi aku belum berhasil mengumpulkan keberanianku untuk melanjutkan langkah menuruni anak tangga menuju ke kerumunan calon penumpang.

Bagaimana kalau aku tertular, merasakan gejalanya, diisolasi dan sendirian merasakan segala penderitaan akibat virus ini. Demam tinggi, nyeri di seluruh tubuh, sesak nafas. Merasakan setiap tarikan nafas adalah duri-duri yang merajam paru-paru ku. Dan aku akan sendirian berhadapan dengan virus ini, bertarung tanpa sesiapa di sampingku. Tak akan ada senyum yang menyejukan hati dan berusaha meredam sedikit rasa sakitku, tak akan ada genggaman tangan yang berusaha menguatkanku. Sendiri. Benar-benar sendiri. Tenaga medis mungkin sedang menolong pasien lain yang lebih muda dan punya harapan hidup lebih besar ketimbang diriku. Seperti yang terjadi di Itali.  Dokter harus memilih siapa yang akan diselamatkan, dan siapa yang tidak mungkin lagi diselamatkan. dan menemui ajalnya.

Bagaimana kalau akhirnya aku tidak selamat? Kalah melawan virus ini? Bagaimana Chika akan melanjutkan hidupnya tanpa diriku, setelah papanya pergi mendahului kami berbilang bulan yang lalu? Dia akan menjadi seorang yatim piatu di usianya yang baru belasan tahun. Mampukah dia menghadapi kerasnya dunia ini seorang diri? Tanpa diriku? Tiba-tiba airmataku jatuh tak mampu kutahan. Mataku menjadi buram tertutup air mata. Semakin lama semakin deras mengalir. Masker yang menutupi mulut dan hidungku menjadi basah. Aku tak peduli pada air mata yang terus turun membasahi masker ku, yang kulakukan hanya bertahan agar tak terisak. Agar tak menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang disitu.

Berbilang bulan ini, aku memang tidak lagi berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menyembul keluar dari mataku, ketika tiba-tiba aku merasakan luka karena kehilangan itu kembali terbuka. Oleh banyak sebab. Begitu pun kali ini. Masih di anak tangga yang sama. Aku membiarkan diriku menangis, walau kali ini tanpa sebab yang jelas.

‘’Yang Bekasi barat bersiap-siap, yang Bekasi Barat bersiap-siap,’’ teriakan petugas menyadarkan aku dari situasi yang makin buruk. Aku berusaha meredakan kekhawatiranku dengan menghela nafas dalam-dalam. Satu helaan,dua helaan, aku menunggu hingga sepuluh helaan nafas sebelum mulai kembali melangkahkan kakiku menuruni anak tangga. Tiba-tiba aku seperti diingatkan untuk melangkah sembari melantunkan doa-doa. Al Ikhlas, Shalawat, Al ikhlas, shalawat. Melangkah masuk ke dalam busway, dan ajaib, aku menemukan sebuah kursi kosong, padahal sudah ada beberapa orang yang berdiri. Aku pun duduk dengan tenang sembari masih terus melantunkan doa dan membaca surat-surat pendek.

Kupejamkan mata, menyandarkan kepala ke belakang, meredakan rasa lelah yang kini kurasakan, setelah serangan panik yang baru saja kualami. Perjalanan malam itu tak akan pernah kulupakan. Bus transjakarta yang kutumpangi melaju tenang di jalan tol menuju Bekasi Barat. Jalanan lengang, perjalanan pun lancar. Rupanya malam itu masalahku belum selesai. Setelah perjalanan yang tenang selama hampir satu jam, aku turun di halte depan hotel Amaroosa, untuk melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan Elf 45 menuju Cikarang. Dari halte aku harus berjalan, sekira 150 meter menuju pangkalan 45. Sepanjang trotoar, ratusan ojek online berseragam hijau memenuhi jalan yang aku lewati. Tiba-tiba aku teringat jutaan jasad renik di cawan petri. Tapi kali ini aku sudah lebih waspada. Mereka bukan jasad renik,mereka bukan bakteri, mereka bukan virus yang akan menginfeksiku. Aku akan selamat melewati mereka tanpa masalah apapun. Bisikku dalam hati. Maka perjalanan ke Cikarang menggunakan Elf 45 malam itu berjalan lancar, meskipun kemudian hujan mengguyur di tengah jalan. Kuakhiri perjalanan pulang malam itu dengan taksi online menuju rumah, seturun di halte Citywalk.

Chika menyambutku dengan pandangan bertanya.

‘’Mama kok gak telpon aku minta dijemput?’’

‘’Waktu turun di citywalk tadi hujan, sayang. Kamu kehujanan kalau harus jemput mama. Jadi mending mama naik taksi online aja,’’ jawabku sambil berjanji, dalam hati, akan terus menemaninya, mendampinginya, mendengarkan ceritanya, menambahkan pigura pada kisah-kisah hidupnya kelak.

Mama akan selalu ada disampingmu, apapun yang terjadi.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighty eight − = eighty