‘’NIN sini deh, aku kenalin temanku. Anak FH,’’ teriak mas Dedek, membuyarkan meditasiku yang baru saja kumulai. Aku pun membuka mata, mencari arah suara mas Dedek. Hari Minggu sore adalah hari latihan rutin teater Kaki yang dipimpin mas Dedek. Ada Tari, Sulis, Endah, Warto dan beberapa teman lain yang masih asyik bermeditasi, sebelum latihan dimulai. Entah kenapa hanya aku yang di panggil mas Dedek. Setiap Minggu sore kami berlatih di Siti Hinggil, salah satu bangunan milik Kraton Kasunanan Surakarta yang diperbolehkan digunakan untuk kepentingan umum. Sebuah bangunan yang cukup luas untuk berlatih kesenian disana. Bukan hanya teater Kaki yang berlatih disana,tetapi juga beberapa kelompok lain.
Aku melihat mas Dedek tengah berbincang dengan seorang lelaki. Rambut sebahu berwarna kecoklatan dan sedikit berombak. Tingginya sekitar 170 cm, tubuhnya sedang saja. Tatapan matanya yang tajam, dengan dagu yang kokoh. Bola matanya yang lebar tertutup kacamata. Ia terlihat tak acuh ketika aku mendekat.
‘’Can kenalin temanku, Nina’’. Aku pun mengulurkan tanganku, ia menyambutnya sekilas dan bibirnya menggumamkan sesuatu. Sepertinya sih dia tadi menyebutkan namanya. Tapi tak begitu jelas di telingaku. Aku menatapnya, berharap dia mengulang sekali lagi sesuatu yang keluar dari bibirnya tadi. Wajah tampan itu sama sekali tak bereaksi, tapi kulihat sepasang mata yang begitu hidup, binarnya menyiratkan kejenakaan. Riang, ringan, tapi…..songong. Mungkin karena yang sedang dihadapinya hanya seorang anak SMA, tentu sama sekali tidak menarik, dibandingkan mahasiswi mahasiswi cantik yang saat itu tengah bersama nya. Maka songong lah dia.
‘’Siapa?’’
‘’Namanya Lucan, kuliah di FH semester tiga,’’ mas Dedek mengulangi keterangannya.
‘’Owh…’’ kataku singkat.
Kami segera berlalu dari perkenalan singkat itu. Kembali ke komunitasmasing-masing. Kulihat ia segera bersama seorang gadis. Aku pun kembali melanjutkan latihanku. Tapi sepanjang sore itu,hanya suara pria bernama Lucan itu saja yang memenuhi telingaku. Sepertinya ia sedang menceritakan sebuah lelucon yang kemudian disambut oleh tawa riuh teman-temannya. Dari kejauhan aku lihat ia berdiri , sementara teman-temannya duduk di beberapa anak tangga menyimak setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya, yang tadi sempat sekilas kulihat, tipis. Terkadang yang lain menimpali dengan sebuah kalimat dan masih disusul gelak tawa. Nampaknya pria bernama Lucan ini cukup populer diantara mereka. Ketika serombongan gadis melewati kelompok itu, salah satunya memanggil nama Lucan. Yang dipanggil sekilas menengok dan melambaikan tangan. Tak lama rombongan lain datang dan bergabung dengan nya. Makin riuh saja mereka bercanda. Hmm pantesan lagunya songong ketika berkenalan denganku tadi, mahasiswa populer di kampus rupanya.
Setelah itu,hampir setiap Minggu kami bertemu di Siti Hinggil, tapi tak sekalipun kami bertegur sapa.Ia terlihat selalu sibuk dengan fans club nya. Sekali waktu sekedar ngobrol bercanda tak karuan, tapi kali lain kulihat dia tengah tekun menorehkan pensil di atas kertas. Tak lama kertas yang telah berisi coretannya dia serahkan pada kawan-kawannya yang rupanya tengah mengantri untuk mendapatkan hasil coretannya itu.
Menjelang ujian akhir SMA, aku mulai mengurangi kegiatan ekstra kurikulerku. Mempersiapkan diri agar ujian dapat kulalui dengan baik. Aku pun mulai melupakan Siti Hinggil, teater Kaki dan Lucan. Apalagi kemudian mulai mempersiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Hari-hari ku kupenuhi dengan belajar, belajar dan belajar. Dua kali seminggu aku mengikuti bimbingan belajar, dan mendapatkan kisi-kisi menjawab soal-soal UMPTN nantinya.
Hari yang kunantikan pun tiba, aku diterima di Fakultas Farmasi UGM, sesuai cita-citaku menjadi seorang apoteker. Kutinggalkan kota kelahiranku, Solo, untuk memulai babak baru kehidupanku. Menjadi mahasiswa baru di Yogyakarta.
Hari ini hari pertama aku memulai kehidupan sebagai seoang mahasiswa. Tentu tidak langsung diisi dengan kegiatan perkuliahan. Dimulai dengan orientasi mahasiswa baru. Sesuatu yang selama ini menjadi sesuatu yang sangat kuimpikan. Aku membayangkan akan ada begitu banyak kegiatan orientasi, seperti yang selama ini sering kulihat, ketika mahasiswa baru di kampus di Solo tengah menjalani masa perpeloncoan. Rambut diikat beberapa dengan pita warna warni, meski berseragam putih-putih,namun atribut yang digunakan sangat aneh di mata kanak-kanaku. Aneh karena itu dilakukan oleh orang-orang yang sudah dewasa. Mengenakan topi kertas dan rambut berpita warna warni itu,dimataku nggak banget deh. Apakah kami mahasiswa baru di UGM juga akan diperlakukan sama seperti itu?
Thanks God ternyata tidak.
Semua keriuhan yang dialami mahasiswa baru yang kulihat saat aku masih di Solo sama sekali tidak kutemukan disini. Tapi kok jadi cukup membosankan ya. Kami hanya duduk berkumpul di ruang 4, ruang kuliah paling besar yang dimiliki fakultas Farmasi. Pak Wahyono,dosen muda yang cukup ganteng,memandu kami untuk saling berkenalan. Satu demi satu kami dipanggil ke depan untuk memperkenalkan diri. Menyebutkan nama, asal sekolah dan kota asal kami. Hmm… masak jadi mahasiswa seperti ini sih. Ini juga gak banget deh kayaknya. Lebih gak banget ketimbang topi kertas dan pita warna-warni dikepala. Sebagai remaja yang baru saja lulus SMA, aku membayangkan kehidupan mahasiswa semestinya asyik dengan berbagai diskusi kebangsaan yang mencerahkan.(bersambung…)
Gambar oleh Enrique Meseguer dari Pixabay