Si Songong Itu Berjuluk Lucan (bag 2)

Kriiiiiiing…dering telepon di ruang keluarga terdengar hingga ke kamarku.Tak lama kudengar suara ibu.

‘’Halo… Ada, Ninanya ada, dengan siapa ini? Oh ya sebentar ya

Nin,telepon dari Jibah ni’’

Aku segera bergegas menuju meja tempat telepon diletakan.

‘’Assalamualaikum…

‘’Waalaikumsalam. Nin malam ini ada rencana pergi gak’’kudengar suara Jibah langsung ke pokok persoalan. Tak pernah basa basi, nanya kapan datang kek, apa kabar kek. Kawan main sejak aku masih aktif di teater Kaki ini memang yang paling setia menungguku pulang ke Solo, hampir setiap minggunya.  Ada saja tawaran jalan yang diajukan kepadaku. Dan aku sangat jarang menolaknya.

‘’Gak ada. Mau kemana emang?

‘’Lucan pameran karikatur di kampusnya, Kenthingan, nonton yuk. Besok terakhir, malam ini pasti bakalan ramai deh.

‘’Lucan? Pameran karikatur?’’ langsung teringat wajah songong namun populer atau wajah populer tapi songong yang sempat kukenal lebih setahun yang lalu. Jadi dia seorang karikaturis? Atau kartunis? Entah mana yang benar. Aku juga tidak bisa membedakan antara keduanya. Atau mungkin sama saja. Tapi menarik kayaknya.

‘’Iya, Lucan, masak lupa sih. Waktu itu kan kamu pernah dikenalin mas Dedek. Dia memang kartunis.  Hasil karyanya sudah banyak kok dimuat di media-media besar. Malah sudah masuk sindikat kartun internasional. Ayuk nonton, daripada bengong aja di rumah,’’sahabatku ini memang tidak pernah punya kesabaran cukup, apalagi basa basi, seperti kataku tadi.

‘’Ih siapa juga yang bengong’’. Selain bahwa sampai sekarang aku masih jomblo, aku baik-baik saja kok. Benarkah baik baik saja? Sebenarnya sih memang tidak. Tapi siapa yang mau tahu? Kayaknya sih gak ada deh. Maka kusimpan saja sendiri semua yang kualami dan kurasakan.

‘’Ayolah. Daripada gak jalan, mending jalan deh,’’ rayu Jibah. Pria berambut kribo, berkulit agak gelap dan selalu memiliki bahan obrolan yang menarik ini terus berusaha meyakinkanku. Membayangkan wajah songong Lucan memang membuatku agak enggan pergi. Tetapi menikmati pameran karikatur kayaknya menarik juga, meski pameran itu dilakukan oleh lelaki berwajah songong yang sok kecakapen. Oke deh, skip aja si pemilik karya berwajah songong itu. Yang penting nikmati karyanya saja. Kata Jibah bahkan pameran itu dibuka oleh Menteri Kehakiman beberapa hari lalu. Wow…

‘’Oke deh, tapi samperin ya, abis magrib,’’ kataku akhirnya.

Ini pertamakalinya aku menginjakan kaki di auditorium kampus terbesar di Solo ini, tentu saja karena memang aku bukan mahasiswa disini.Terlihat cukup megah, sebuah bangunan baru berbentuk joglo. Untuk masuk kita harus naik beberapa anak tangga.  Waktu tiba disana, kulihat auditorium itu sudah cukup ramai oleh mahasiswa yang ingin melihat pameran itu.

Begitu masuk ke arena, aku disuguhi pemandangan unik. Sebuah penyangga kanvas dengan gambar karikatur wajah seseorang dalam bentuk sangat besar, dengan tubuh yang kecil dibandingkan kepalanya. Dalam ekspresi yang jenaka, karikatur dikanvas itu terlihat tengah membawa alat gambar dan pensil. Aku langsung bisa menebak, itu wajah Lucan.  Jenaka, kali ini sama sekali tak menunjukkan kesongongannya. Meihat suguhan awal itu, aku langsung tergelitik untuk ingin tahu lebih banyak mengenai karya-karya Lucan yang lain.

Di salah satu sudut kulihat sang pemilik karya tengah berbincang dengan beberapa orang. Kelihatannya seperti wartawan yang sedang wawancara. Aku segera melewatinya dan mulai meneliti satu demi satu karya karikatur yang dipajang disitu. Bagiku jauh lebih menarik untuk melihat karya-karyanya ketimbang dengan karikaturisnya. Malesin songongnya.  Jibah yang dari tadi berjalan di sampingku, tiba-tiba mencolek lenganku.

‘’Nin,sebentar ya, aku ketemu teman sebentar’’, belum kujawab ia sudah langsung ngeloyor pergi. Tangannya melambai pada seorang  gadis berekor kuda, rok warna coklat dan blus berwarna kuning. Ada sedikit poni menghiasi keningnya.Hidungnya cukup mancung, bibir tipis dan mata belok. Hmmm cantik. Pantes Jibah langsung gak peduli sama aku dan meninggalkanku sendirian disini. Hmmm nasib nasib…

‘’Oke’’kataku singkat, sembari memasukan kedua tanganku ke saku celanaku. Pasrah. Jibah sudah berlalu, ia bahkan mungkin sudah tak mendengarkan jawabanku, yang memang tidak dia butuhkan. Daripada merutuki nasib, maka kugunakan kesempatan sendiri ini untuk terus berjalan menyusuri gambar demi gambar yang makin lama makin menarik buatku. Karakternya yang sangat khas, tokoh tokoh yang unik,ragam masalah yang beraneka,memperlihatkan perhatian sang pemilik karya yang cukup luas. Dari masalah politik,hingga lingkungan hidup dan sosial kulihat dbahas tuntas melalui hasil karya nya ini.

‘’Itu kritikku terhadap orang yang suka mengkritik orang lain, padahal dia sendiri sejatinya tengah melakukan hal yang sama tanpa disadarinya,’’ suara seseorang disampingku mengejutkanku. Aku menengok. Ah ternyata sang pemilik karya. Aku tak menyadari bahwa dia ternyata sudah berdiri disampingku yang tengah asyik melihat lihat karikatur miliknya.

‘’Eh kamu,sudah lama disitu. Aku gak dengar kamu datang,’’ sahutku berusaha menyembuyikan keterkejutanku.

‘’Cukup lama untuk tahu, bahwa kamu menyukai karya karyaku’’. Hmmm… keluar deh songongnya. Baru juga bersikap ramah…

‘’Kritikanmu ini, apakah itu termasuk otokritik?,’ sahutku sekenanya, mengalihkan pembicaraan.

‘’Bisa jadi,’’ jawabnya enteng.  Mengenakan kaos putih lengan panjang yang digulung hingga ke siku.Celana corduroy warna coklat tua dan sneaker warna putih. Hmmm penampilannya cukup menarik, bukan penampilan biasanya seorang seniman. Ia berbicara sembari meletakan tangannya di kedua saku celananya. Terlihat begitu santai dan menikmati semua suasana yang muncul di ruangan yang cukup luas itu.

‘’Nina kan? Temannya Dedek di teater Kaki,’’ kali ini kalimatnya membuat aku terbengong bengong. Jadi si songong ini masih ingat namaku, masih ingat bahwa aku temannya mas Dedek. Walah….

‘’Iya,’’ kataku tanpa mampu menyembuyikan rasa terkejutku. Ia ingat namaku ternyata.

‘’Kamu lupa ya, kita pernah kenalan waktu itu.

‘’Iya, aku ingat. Kukira kamu sudah lupa’’.

‘’Gadis manis seperti kamu, pasti gak akan mudah dilupakan’’. Mulai deh ngegombal.

‘’Tapi kamu sudah lama gak pernah latihan lagi,’’ Apa? Jadi dia memperhatikan ketidakhadiranku di Siti Hinggil beberapa bulan terakhir ini?

‘’Aku kuliah di Yogya, nggak setiap minggu pulang.Kebetulan hari ini aku pulang, Jibah ajak aku kemari.

‘’Oh sama Jibah kesininya?

‘’Iya.Tau deh tadi terus kemana, katanya mau ketemu temannya’’. Aku lalu celingukan mencoba mencari wajah Jibah, yang harusnya sangat mudah kutemukan berkat rambut kribonya yang sangat khas itu.

‘’Kuliah di Yogya? Dimana?

‘’UGM’’

‘’Ambil jurusan apa?

‘’Farmasi’’

‘’Waow…!’

‘’Kenapa?

‘’Keliatannya sih jurusan yang sangat serius. Kamu gak takut kehilangan kemanisan wajahmu karena terlalu serius kuliah nantinya?

‘’Ih,apaan sih,’’ tapi aku tak bisa menahan tawaku.  Kulihat ia juga tertawa.

Setelah itu ia menemanku berkeliling pameran, menjelaskan satu demi satu hasil karya yang dipamerkannya kali ini. Ternyata asyik juga anak ini.  Kesan songong yang waktu itu sempat kutangkap,sama sekali tak berbekas. Ternyata ia seorang yang cukup antusias terhadap banyak hal. Sesekali dia tergelak ketika menceritakan asal muasal idenya membuat satu atau dua karya yang dipamerkannya. Hmm baiklah, di akhir malam ini maka kucoret nama songong di belakang namanya.

‘’Dedek banyak cerita soal kamu. Setiap kali ketemu, yang diceritakan selalu soal kamu. Kayaknya dia naksir kamu deh,’’ katanya menggodaku.

‘’Ngarang..!!.Gak mungkin lah mas Dedek naksir aku. Dia sudah seperti kakak buat aku,’’ kataku langsung seketika menukas omongan ngawurnya itu. Aku tahu persis selera mas Dedek akan seorang gadis. Banyak yang naksir dia, aku tahu.tapi kayaknya dia sudah punya pilihannya sendiri.

‘’Nin,nah itu dia kamu.Aku cari kemana mana, ternyata disini sama Lucan. Yuk pulang udah malam. Can aku pulang dulu ya,’’ Jibah tiba-tiba muncul. Ah Jibah ini ngeselin banget sih, tadi dia begitu saja ninggalin aku, sekarang giliran aku mulai menikmati suasana pameran ini, dan mulai melihat sisi lain si songong, eh Lucan, dia muncul tiba-tiba tanpa kuharapkan. Nanti dulu kek.. Belum juga jam 9, masih sore tauk.Biarin aja aku disini berlama-lama gitu…

Tapi yang keluar dari mulutku Cuma, ‘’Terimakasih tur nya ya. Sangat menarik. Sekali lagi selamat ya untuk pamerannya. Aku pulang dulu, lagian sudah malam,’’ aku pamit dan mulai mencoret  atribut songong yang pernah kusematkan padanya. Ah ya, ternyata namanya Ben. Lucan adalah julukan yang diberikan teman-temannya berdasarkan sebuah serial di TVRI yang tokohnya bernama Lucan. Memiiliki profil mirip dirinya. Wajah ganteng yang laki banget, menarik dan punya pesona sendiri.

Hari hari sebagai mahasiswa baru di kampus ini membuatku tak selalu bisa pulang ke Solo setiap minggunya. Selain aktif kuliah,praktikum aku juga mengikuti beberapa kegiatan mahasiswa, yang beberapa diantaranya sering dilakukan di hari Sabtu atau Minggu.

‘’Nin,’’Jibah kali ini datang dengan membawa berita yang mengejutkan.

‘’Kamu ingat Lucan kan?

‘’Kenapa lagi Lucan?

‘’Kawin dia

‘’Terus kenapa?

‘’Ya gpp sih.

‘’Nah…

Lucan menikah kan bukan urusanku. Jadi pernikahan Lucan samasekali tidak menjadi   perhatian ku. Biasa saja.  Apapun yang menyebabkan dia harus menjalani pernikahannya, juga bukan masalahku.

Hmmmm….

Jadi Lucan sudah menikah?

Tiba-tiba ada yang melompat dari hatiku, entah apa. Meninggalkan ruang kosong disana.

Ilustrasi kartun by BmW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− two = seven